Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md pernah menanyakan sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait perlu tidaknya pasal penghinaan terhadap Kepala Negara masuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini ditanyakan Mahfud sebelum ia menjabat sebagai Menkopolhukam.
“Saya menanyakan sikap Pak Jokowi. Jawabnya, ‘Terserah legislatif, mana yang bermanfaat bagi negara. Kalau bagi saya pribadi, masuk atau tak masuk sama saja, toh saya sering dihina tapi tak pernah memperkarakan,” kata Mahfud Md di Twitter pribadinya, Rabu, 9 Juni 2021.
Sikap ini, kata Mahfud menunjukkan Jokowi menyerahkan sepenuhnya perlu tidaknya pasal itu masuk revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), kepada DPR. Saat ini, kemunculan pasal penghinaan pada Kepala Negara itu menuai pro kontra di tengah masyarakat.
Mahfud mengatakan isi RKUHP itu digarap sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005. Saat itu, draf RKUHP dibuat di era Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.
“Waktu itu saya anggota DPR. Menkum-HAM memberitahu ke DPR bahwa Pemerintah akan ajukan RKUHP baru. Ketua Tim adalah Prof. Muladi yang bekerja di bawah Pemerintahan SBY,” kata Mahfud.
Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tertuang dalam Pasal 218 hingga 220 RKUHP terbaru. Penghinaan terhadap presiden dan wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. Bila penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara. Sementara itu, bagi yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dihukum penjara maksimal 2 tahun penjara.(tempo.co)