Tarif tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Indonesia sudah diturunkan. Kisaran Rp450.000 hingga Rp550.000. Harga sebelumnya sekitar Rp900.000. Sempat ada di kisaran Rp1-2 juta pada masa awal Pandemi.
Batas tarif tertinggi tes realtime-PCR Rp495.000 untuk wilayah Jawa dan Bali. Sedangkan di luar Jawa dan Bali, Rp525.000. Jika dibandingkan negara lain dalam satu kawasan, India mencatatkan diri sebagai negara dengan harga PCR termurah. Pemerintah Kota Delhi menetapkan harga PCR sebesar 500 rupee atau setara dengan Rp96.000. Turun dari harga sebelumnya di kisaran 800 rupee atau setara Rp 150.000.
Meski sudah turun, harga tes PCR di Indonesia masih tergolong mahal. Salah satu alasannya karena masih ada komponen yang diimpor dari luar negeri. Biaya impor bahan baku yang mahal menentukan harga PCR di Indonesia. Sebab, bahan baku tetap harus diolah lagi di dalam negeri. Itu membutuhkan biaya.
Sehingga tidak bisa membandingkan harga tes PCR di Indonesia dengan India. Mengingat India sudah menggunakan alat produksi dalam negeri. Selain itu, komponen bahan bakunya juga buatan sendiri.
Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT Agung Eru Wibowo mengakui, 90 persen alat kesehatan Indonesia masih mengandalkan impor. Bahkan, dari Alat Pelindung Diri (APD), alat swab, hingga reagen PCR.
Industri farmasi Indonesia masih bergantung pada China dan India. Dua negara ini bisa dibilang sudah mampu memproduksi bahan-bahan kimia sendiri. Itulah sebabnya, harga PCR di India tak sampai Rp100.000. Untuk membuat alat PCR bukan perkara mudah. Walaupun Indonesia tidak kehabisan stok ilmuwan untuk membuat produk tersebut.
“Alat-alat memang masih banyak alat dari luar. Karena desain alat perlu sistem pabrikan yang luar biasa. Sebetulnya kalau dibedah, saya yakin kita para peneliti Indonesia bisa,” tegas Agung.