Jakarta – Rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa pendidikan atau sekolah lewat revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menuai kritik dari berbagai kalangan.
Sejumlah ekonom menilai wacana PPN sekolah justru bertentangan dengan arah pembangunan Presiden Jokowi di periode kedua yang fokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pengenaan PPN niscaya akan mengerek biaya pendidikan dan membuat masyarakat miskin makin kesulitan mengakses ilmu pengetahuan.
Terlebih, jika pemberlakuan PPN di bidang jasa tersebut meliputi penyelenggaraan pendidikan sekolah di berbagai jenis dan tingkatan: mulai dari pendidikan umum, kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, pendidikan profesional, hingga pendidikan di luar sekolah.
“Akibatnya biaya pendidikan semakin sulit dijangkau masyarakat kelas bawah yang tidak mendapatkan fasilitas pendidikan gratis pemerintah,” ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (11/6).
Jika kebijakan ini dilanjutkan, menurut Bhima, angka putus sekolah juga berpotensi semakin meningkat. Sebab, tanpa PPN pun biaya pendidikan sudah cukup mahal.
Data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2020 menyebut bahwa pendidikan berkontribusi 1,96 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan dan 1,25 persen dari garis kemiskinan di pedesaan.
“Yang terjadi adalah masyarakat akan mengurangi belanja pendidikan. Artinya yang habis sekolah ada les tambahan, karena kena PPN jadi batal les-nya. Bagaimana keluarga miskin keluar dari rantai kemiskinan kalau begini caranya,” imbuhnya.
Pemerintah, menurut Bhima, harusnya sadar bahwa pendidikan Indonesia saat ini masih terlalu rendah untuk membangun manusia yang unggul. Ini tercermin dari skor PISA Indonesia yang masih berada di urutan 72 dari 79 negara.
PISA atau Program for International Student Assessment merupakan penilaian yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan yang terdiri dari kemampuan membaca, sains, dan matematika siswa di berbagai negara di seluruh dunia.
Pada 2018 lalu, laporan Organization for Economics Cooperation and Development (OECD) menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-6 terbawah (dari 79 negara) dalam kemampuan membaca, peringkat ke-7 terendah dalam kemahiran matematika dan ke-9 terbawah dalam pengetahuan sains.
“Salah satu masalah utama pendidikan karena akses pendidikan dan kualitas pendidikan yang belum merata. Akibatnya, kinerja SDM kita di bawah rata-rata dunia. Ditambah beban PPN, ya makin sulit lagi bagi anak-anak sekolah mengejar negara lain,” jelas Bhima.
Oleh karena itu lah, ia mendorong pemerintah menyetop pembahasan pengenaan PPN sekolah dan kembali memberikan insentif besar-besaran terhadap berbagai upaya peningkatan kualitas SDM Indonesia.
“Di banyak negara saja PPN pendidikan itu dikecualikan, kok di Indonesia mau dimasukkan. Dasarnya apa saya juga kurang paham kalau hanya sekadar kejar-kejaran soal penerimaan pajak jangka pendek. Pemerintah sepertinya tidak paham filosofi pembuatan aturan PPN kenapa pendidikan harus dikecualikan,” ungkapnya.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics and Finance (CORE) Indonesia Rendy Yusuf Manilet merespons argumen Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo yang menyebut pengenaan PPN atas jasa pendidikan justru bertujuan untuk mencapai keadilan.
Menurutnya, hal tersebut mustahil tercapai jika masalah ketimpangan pendidikan akibat belum meratanya akses dan infrastruktur penyelenggaraan sekolah di berbagai wilayah belum terselesaikan.
Sebab, bagaimana mungkin keadilan dapat tercapai jika warga di daerah yang fasilitas pendidikan kurang memadai dikenakan pajak yang besarannya sama dengan warga kota-kota besar yang menikmati fasilitas lebih lengkap.
“Kalau argumennya untuk keadilan, saya kira pendidikan ini kan memang menjadi basic needs dan harusnya cuma-cuma disediakan pemerintah. Mandat Undang-Undang Dasar (UUD) juga, kan, makanya anggaran pendidikan dikunci 20 persen di dalam belanja APBN,” jelasnya.
Lagipula, menurut Rendy, jumlah PPN yang ditarik dari jasa pendidikan juga tak akan signifikan meningkatkan kecilnya kontribusi sektor tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada kuartal 1 lalu, berdasarkan data BPS, jasa pendidikan hanya menyumbang 3,24 persen dan jauh lebih rendah industri pengolahan (19,84 persen).
Kemudian, pertanian, kehutanan dan perikanan (13,17 persen); perdagangan (13,10 persen), serta konstruksi (10,80 persen).
“Kalau dilihat kontribusi ke PPN kita pakai proksi PDB, kan ada salah satu komponen jasa pendidikan tapi relatif tidak besar dibandingkan dengan perdagangan atau pun industri manufaktur misalnya. Secara komposisi pembentukan ke PDB-nya juga tidak terlalu besar,” pungkasnya.(CNN)